Pages - Menu

Sabtu, 29 September 2012

CERITA MAHABARATA



Lakon Kalimataya; Tentang Kepantasan-kepantasan

1. Apa yang tidak pantas dilakukan oleh seorang ksatria dalam pertempuran dan perang? Jawabannya begitu jelas: tidak ada yang tidak pantas yang dilakukan oleh seorang ksatria dalam pertempuran dan perang! Mengapa demikian? Karena seorang ksatria telah berlaku adil sejak sebelum perang itu terjadi. Adil seperti apa? Adil untuk mencegah agar perang tidak terjadi; adil ketika memutuskan perang memang harus terjadi, serta adil untuk membuat bagaimana sebuah perang harus diakhiri. Bahkan saat seorang ksatria tidak mampu menghentikan peperangan, ia tetap akan berupaya adil: membiarkan perang itu sendiri menghentikan semuanya.Apa yang membedakan seorang ksatria dengan yang bukan-ksatria? Mereka yang bukan-ksatria selalu terlambat berbuat adil atau bahkan lupa serta abai terhadap keadilan, bahkan ketika perang telah usai. Yang bukan-ksatria menghasut agar perang terjadi sementara orang ingin berdamai; memerintah orang lain untuk maju perang sedang ia minum tuak dan menari; ketika ia menjadi orang terakhir dalam menghadapi lawan, ia menyelinap sambil menyerapah di tempat ia bersembunyi.
Apa yang tersisa dari sebuah perang, khususnya perang antar-wangsa Barata? Bagi ksatria yang tersisa adalah harapan untuk tumbuh, untuk bangkit. Bagi yang bukan-ksatria yang tersisa adalah tetap kesumat: sebuah dendam untuk melanggengkan kekuasaan; sebuah hasrat untuk kembali melakukan kesewenangan; dan politik penumpasan diam-diam, termasuk – dan ini yang dilakukan – mencerabut nyawa para perempuan.
2. Mari kita hadir di hari itu: waktu menjelang paripurna Baratayuda. Bala pasukan Kurawa dan semua panglima Hastina menjelang sirna dan lampus. Di pihak Pandawa kelima putera Pandu masih bugar.Di tepi Danau Dwaipayana, Bima, Kresna, dan Arjuna berdiri. Bertiga memanggil keras Duryudana yang berlari dan bertenggelam ke danau itu. Kresna menyindir agar Duryudana bersikap ksatria untuk laga pamungkas, tapi tidak berpengaruh. Arjuna pun menegaskan tentang Hastina yang secara legal-sah menjadi hak Pandawa, tapi tetap tidak membuat Duryudana naik ke permukaan. Justru sebaliknya sulung dari Kurawa itu menyebut mereka bertiga “tak lebih dari sekawanan serigala yang dengan licik sedang mengeroyok seekor singa”. Tanpa jeda nafas, Arjuna pun meneruskan, “Mungkin maksudmu, seekor singa yang diperanakkan oleh ayah yang buta?”Air menggelegak. Duryudana muncul meradang.
3. Siapa lawan Duryudana yang gagah itu? Siapa yang pantas meladeni Raja Hastinapura? Tidak lain adalah Bima yang sejak kecil menjadi rekan beradu tubuh dan nyali. Harga yang paling tepat untuk keduanya: sama kuat, sama semangat, sama memburu, tapi beda niat. Sang Raja menghantam sekuat penuh untuk melanjutkan kekuasaan dan menghancur-matikan mereka yang berhak. Bima memalukan gadanya separuh tenaga ke paha lawan untuk menghentikan arogansi sebuah tahta.Semar menganggap Bima bimbang dalam bertarung. Baladewa memprotesnya sebagai curang!
4. Kalimataya (kali = zaman, mataya = bergerak) akhirnya ditetapkan sebagai sebuah asma untuk gerakan baru, julukan untuk Raja di episode pasca-klimaks perang besar. Menjelang puncak – runtuhnya Duryudana – suasana hati pelaku pertempuran telah sampai di tahap akhir pengharapan. Pihak Pandawa yang begitu optimis di atas puluhan tahun penyiksaan-derita lahir batin melawan beberapa raga Hastina yang suluh keangkaraannya menjelang padam.Suasana batin ini, baik Pandawa dan sisa Kurawa (dalam hal ini khususnya Duryudana), begitu sulit dirasakan bagi mereka yang tidak terlibat dalam roman besar itu. Pantaskah seorang Arjuna ‘menghujat’ Putra Destarastra itu? Seorang Arjuna yang dikenal halus budi, dengan kesusilaan yang terjaga, harus menyampaikan serapah yang tidak sopan? Apakah pantas seorang Bima bimbang dan ragu-ragu untuk mengakhiri laganya melawan Duryudana? Seorang Bima yang telah merambah jagad kadewan itu memiliki kesangsian atas dirinya? Ataukah ini semua merupakan tanda yang mengarah ke lain hal?
5. Seringkali sebuah teks memang hadir begitu saja, kita terima seperti itu. Pengarang atau penulis tentunya memiliki alasan untuk meruwat atau memilih kata yang begini atau begitu. Namun setiap teks memang menjadi pasif ketika ia telah dinikmati atau disajikan. Ia menjadi obyek yang bisa dijelaskan, ditafsirkan, dimaknai bebas. Mengapa begitu? Karena penonton, pembaca, penikmat tidak mampu sepenuhnya berada dalam nuansa atau suasana penulis/pengarang pada saat ia menciptakan teks tersebut. Jika demikian, layakkah sebuah teks dikomentari? Salah satu jalan yang imbang adalah cara membaca / model pembacaan terhadap teks itu. Ada yang mesti dirunut dari lingkaran pembacaan ini: pengarang, teks, dan pembaca/penonton.Lakon Kalimataya kiranya bukan sekedar nukilan sebuah episode drama Mahabarata. Cuplikan sebagian kisah di masa akhir perang Baratayuda dan kemudian tampilnya raja sementara Puntadewa di tahta Hastina merupakan puncak perjuangan lahir-batin kedua pihak yang berseteru. Dalam lakon ini setidaknya ada makna baru tentang pilihan: yang mana ksatria dan yang mana sebaliknya.Kalimataya menjadi ambang batas bagi perlawanan terhadap dendam. Karena dendam adalah benih yang semenjak awal telah disemaikan. Kemelut telah hadir mengiringi para pendiri dan penggagas sistem pemerintahan Hastinapura. Duryudana pun, meski telah kalah oleh Bima, tetap menyempatkan diri mewariskan dendam-pembalasan itu pada Aswatama; yang nantinya cukup sukses mencerabut beberapa nyawa dari pihak Pandawa, termasuk Banowati – figur di antara dua pihak.Masihkah kita bimbang atas Arjuna atau Bima? Pun Puntadewa ketika gamang menduduki tahta? Tak ada jawaban sepenuhnya yang memastikan boleh atau tidak. Tapi mungkin kita paham: apakah Duryudana memang tidak pantas disebut sebagai pengecut?
 
Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar